A.Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Dari sejumlah bahas terdapat sejumlah
bahasa/istilah yang dihubungkan para ahli untuk menjelaskan tentang tasawuf.
Harun Nasution misalnya, ia menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan
tasawuf, yaitu Al-Suffah (orang yang ikut pindah dengan nabi dari Mekkah ke
Madinah). Saf (barisan), Sufi (suci), Sophos (bahasa Yunani: hikmah) dan Suf
(kain wol). Keseluruhan kata ini bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Yakni
kata al-Suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah)
misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya/harta
benda semata-mata karena Allah. Mereka rela meninggalkan semuanya di Mekkah untuk
hijrah bersama Nabi ke Madinah. Selanjutnya kata Saf (menggambarkan orang yang
selalu berada di barisan depan dalam beribadah dan melakukan kebajikan)
demikian pula kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara
dirinya dari berbuat dosa dan kata Sophos (hikmah) menggambarkan keadaan jiwa
yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dari segi bahas dapat segera dipahami bahwa
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap
bijaksana, sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah Ahlak yang
mulia.
Adapun
pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung
kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing.
Selama
ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan
tasawuf yakni sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas, manusia seabgai
mahluk yang harus berjuang dan manusia sebagai mahluk bertuhan.
Pada
intinya tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin ahlak
yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Inilah esensi atau hakikat tasawuf itu
sendiri.
Tasawuf
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan
yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia
perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk
“Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi inti persoalan “sufisme” baik
pda agama Islam maupun diluarnya.
Dengan
demikian nampak jelas bahwa tasawuf sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan
aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Hakikat
tasawuf adalah keadaan lain yang lebih baik dan lebih sempurna, yakni suatu
perpindahan dari alam kebendaan kepada alam rohami.
Dalam
rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup
tersebut. Maka diperlukan suatu latihan dari tahap satu ketahap lain yang lebih
tinggi dan jalan satu-satunya menurut semua sufi adalah dengan kesucian jiwa
dan untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa itu sendiri
memerlukan pendidiakan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat.
Beberapa
ayat dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia dekat sekali pada Tuhan,
diantaranya:
Surat
al-Baqarah ayat: 186:
Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.
B.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Tasawuf
1.
Periode
I Masa Rasulullah SAW. (13 Sebelum H – 11 H)
Awal tasawuf islam terjadi setelah turunnya Al-Qur’an kepada
nabi Muhammad SAW. Setelah Muhammad menjadi Rasul Allah, mulailah beliau mengajak
manusia membersihkan rohaninya dari kotoran-kotoran nafsu amarah yang tidak
sesuai dengan fitrah aslinya. Beliau berdakwah menyeru manusia memperteguh
tauhid dan mempertinggi akhlaknya untuk mencapai keridhaan Allah.
Kehidupan Rasulullah sudah cukup menjadi suri tauladan para
sufi yang ingin menempuh jalan kebenaran. Rasulullah menempuh hidupnya yang
penuh liku-liku itu dengan iman yang mantap dan ketabahan yang bergelora.
Ketika perjuangan baru dimulai, tulang punggung perjuanagan dakwahnya patah.
Abu Thalib meninggal dan Khadijah wafat pula, padahal beliau sangan butuh
bantuan dari kedua orang ini. Rasulullah menerima sgalanya dengan tabah dan
tenang.
Kemuadian beliau mencoba pergi ke Thaif. Dan sesampainya di
sana, dakwahnya ditolak orang. Dia pulang membawa luka dan derita, sampai
kakinya berdarah akibat lemparan batu dari penduduk Thaif yang sudah
mengintainya di sepanjang jalan yang ia lewati. Terasa letih dan pedih tubuhnya
kena lemparan, dia akan berhenti, tetapi pemuda-pemudi di sana membentak, terus
berjalan !. Dia meneruskan perjalanan di tengah-tengah kepungan ummat yang
jahil itu. Maka ia terima segalanya ini dengan tabah.
Pada suatu waktu beliau datang ke rumah istrinya Aisyah,
ternyata di rumah tidak ada apa-apa. Beliau terima dengan sabar, ia kerjakan
puasa sunnah. Beliau kemudian pergi ke masjid dan bertemulah dengan Abu Bakar
dan Umar. Beliau bertanya apakah gerangan kalian berdua datang ke masjid? Kedua
sahabat taadi menjawab : menghibur lapar, beliau pun mengatakan aku pun
keluar untuk menghibur lapar.
2.
Periode
II Masa Sahabat (11 H – 40 H)
Sahabat yang mencontoh langsung cara hidup rasul, adalah
manusia-manusia yang berakhlak mulia dan membaktikan hidupnya untuk kepentingan
agama.
Di waktu Rasul masih hidup, Abu Bakar yang hartawan telah
mengorbankan harta bendanya secara keseluruhan untuk kepentingan agama. Pernah
Raasul bertanya kepadanya “apalagi yang buat engkau hai Abu Bakar?” Abu Bakar
menjawab “cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya”. Abu Bakar termasyur dengan
kedermawanannya, ketaatan, tawadlu’, wara’ dan mempunyai pribadi yang mulia.
Sehingga ia mendapat tempat yang utama di hati Rasulullah.
Umar bin Khattab adalah seorang sahabat yang berbudi tinggi,
dia menyediakan malamnya untuk beribadat dan siangnya untuk urusan negara.
Meskipun ia seorang pemimpin negara, namun pakaiannya biasa-biasa saja, rendah
hati, wara’ dan berbudi luhur.
Pada suatu ketika ia berjalan malam hari untuk melihat
keadaan rakyatnya dengan mata kepalanya sendiri.Pada malam itu beliau mendengar
sayup-sayup tangisan bayi di sebuah gubuk tua. Lantas beliau dekati gubuk tua.
Lantas ia dekati gubuk tua itu dan terlihatlah seorang wanita sedang memasak.
Beliau tanyakan mengapa anak itu menangis juga. Wanita itu menjawab bahwa ia
sedang kelaparan dan ingin makan, sedang ia sendiri tidak mempunyai makanan dan
yang dimasaknya itu hanya batu-batu biasa untuk menenangkan bayinya agar
tertidur. Kata wanita itu “Alangkah celakanya khalifah kami”. Setelah mendengar
itu, Umar yang terkenal garam terus pergi menuju gudang makanan, diambilnya
sekarung gandum dan dipikulnya di atas pundaknya sendiri, kemudian ia sendiri
pula yang memasaknya. Setelah masak gandum, si anak pun diberi makan. Kemudian
ia berpesan agar wanita itu datang menghadap khalifah besoknya untuk untuk
mengadukan nasibnya. Besok harinya datanglah wanita itu menemui khalifah.
Setelah bertemu, tenyata laki-laki yang menolongnya malam tadilah yang
berhadapan dengan dia.
Usman bin Affan adalah seorang hartawan yang dermawan.
Beliau telah memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Bila ia
berada di rumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya. Beliau kerap kali
mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.
Ali bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau
tidak malu memakai pakaian yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah
menambalnya. Sekali pernah beliau menjinjing daging dari pasar. Lantas orang
bertanya “apakah tuan tidakmalu membawa daging itu ya Amiral mukminin?” beliau
menjawab :yang kubawa ini adalah barang halal, apa yang kumalukan
terhadapnya!”.
Banyak tercatat di dalam sejarah tentang keutamaan pribadi
para sahabat. Mereka meneladan langsung akhlak nabinya. Pribadi-pribadi mereka
telah digembleng dan dikaderkan oleh Rasulullah, menjadi manusia-manusia utama
yang akan dicontoh dan ditiru oleh ummat yang dibelakang mereka.
C.
Karakteristik
Tasawuf pada Masa Rasul dan Sahabat
Pada masa Rasulullah ialah berpegang teguhnya kaum muslimin
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabinya.
Sedangkan
pada masa sahabat ialah :
1)
Memegang teguh ajaran kerohanian yang dipetik dari Al-Qur’an.
2)
Meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Sepenuhnya.
3)
Zuhud terhadap dunia.
4)
Cinta dan mengharap segera bertemu dengan Allah SWT.
5)
Para sahabat memiliki sifat sabar, tawakkal, wara’, ridho dan sifat-sifat
terpuji lainnya yang merupakan cara penghidupan para sahabat.
D.Gambaran dan Praktek Tasawuf pada
Masa Rasul dan Sahabat
Seperti yang diceritakan pada pembahasan sebelumnya. Rasulullah
selama hayatnya menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena sifat terpuji
terhimpun pada dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan budi luhur yang tidak
pernah kering-keringnya, kendati diminum oleh semua makhluk yang memerlukan
air. Sungguh sangat tepat apabila dikatakan bahwa kehidupan Rasulullah
merupakan khazanah daari segala sifat dan amal perbuatan yang baik. Oleh karena
itu, semua pola kehidupan Rasulullah menjadi dasar utama bagi para ulama
tasawuf. Misalnya :
1)
Rasulullah minimal membaca istighfar 70 kali setiap harinya.
2)
Melaksanakan sholat dua pertiga malam yang tidak kurang dari delapan raka’at
setiap harinya.
3)
Dalam melaksanakan sholat tahajjud, beliau tidak lebih dari sebelas raka’at,
tetapi setiap sujud lamanya sama dengan ketika sahabat membaca lima puluh ayat
Al-Qur’an.
4)
Sholat beliau penuh dengan khusyu’ dan thama’ninah yang sempurna.
Demikianlah contoh ringkasan amalan sholat Rasulullah yang
dilakukan secara kontinu. Apabila pada suatu malam beliau berhalangan melakukan
sholatnya yang demikian itu, maka beliau segera mengganti dengan dua belas
raka’at, hingga kekosongan pada malam itu segera diisi pada besok paginya.
Dengan demikian ibadat beliau tidak pernah terganggu.
Dalam hidup kerohanian (tasawuf) para sahabat telah berusaha
berbuat sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Hidup mereka penuh dengan
sifat-sifat kesederhanaan, wara’, tawadhu’ dan zuhud, semata-mata mengharap
ridha dari Allah SWT. Berikut beberapa contoh tasawuf yang diambil dari
kehidupan para sahabat :
1)
Kedermawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq mengorbankan hartanya pada perang Tabuk.
2)
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah hidup dengan sehelai kain saja.
3)
Umar bin Khattab berpidato di hadapan manusia, sedangkan beliau memakai kain
dengan dua belas tambalan dan baju empat tambalan dan tidak memiliki kain yang
lain.
4)
Umar bin Khattab pernah terlambat datang ke masjid, sehingga terlambat pula
melaksanakan sholat fardhu berjama’ah. Karena setiap sholat fardhu biasanya
beliaulah yang menjadi imam. Lalu ditanyakan oleh seorang temannya kenapa
terlambat datang, jawabnya : “Kain saya sedang dicuci dan tidak ada yang
lainnya”.
5)
Dalam kehidupan Usman bin Affan penuh dengan pengabdian setiap waktu, bahkan
Kitabullah senantiasa berada di tangannya dan demikian juga sewaktu beliau
meninggal dunia ditemukan Kitabullah di antara kedua tangannya.
6)
Ali bin Abi Thalib hidup dengan pola sederhana. Pernah dalam satu bulan hanya
memakan tiga buah kurma setiap hari. Di dalam rumahnya hanya terdapat pedang,
baju rantai dan sehelai kain, kalau kain itu dijadikan tikar untuk tidur
bersama istrinya (Fatimah), tidak cukup untuk dijadikan selimut. Sebaliknya
jika dijadikan selimut maka tidak cukup untuk dijadikan tikar untuk tempat
tidur bersamanya.
7)
Di dalam rumah sahabat Abu ‘Ubaidah bin Jarrah hanya ada satu pasu dan sepotong
jana. Yang pertama untuk tempat makanan dan untuk tempat wudhu saja, sedangkan
sepotong kain bulu itu untuk tempat duduk dan tempat tidur saya.
Dari uraian di atas, sudah cukup untuk dijadikan bukti
tentang kekayaan dan keikhlasan para sahabat untuk berjuang dan beramal shaleh.
Abu Bakar Shiddiq mempergunakan semua hartanya untuk sabilillah. Umar bin
Khattab menginfaqkan hartanya untuk sabilillah, Usman bin Affan pernah memikul
beban atau perongkosan perang Zaatil ‘Usyraa, begitu juga dengan Ali bin Abi
Thalib dan lain-lainnya telah berkorban untuk menegakkan agama Allah.
E. Pengertian
Ruang Lingkup Tasawuf Modern
Sebelum kita menjelaskan apa sebenarnya tasawuf modern itu,
ada baiknya terlebih dahulu kita merujuk ke-apa sebenarnya tasawuf itu sendiri.
Arti tasawuf dan asal katanya secara etimologis menjadi perdebatan para ulama
ahli bahasa. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf itu diambil dari kata shafa
artinya suci bersih. Sebagian lagi mengatakan bahwa kata tasawuf itu berasal
dari kata shuf yang artinya bulu binatang domba, karena orang-orang yang
memasuki dunia tasawuf pada zaman dahulu sering memakai pakaian dari bulu
domba, dan ada juga yang mengatakan asal katanya dari shuffah yaitu
sahabat-sahabat Nabi yang tinggal disalah satu ruang masjid Nabawi yang bernama
sufah, ada pula yang mengatakan berasal dari shaf yang artinya barisan
(pertama) dalam sholat, karena sufi selalu memaksimalkan perbuatan kesempurnaan
disetiap ibadah (sholat). Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf itu
berasal dari bahasa Yunani yaitu shofia yang artinya hikmah kebijaksanaan.
F. Bentuk dan
Karakteristik Tasawuf Modern
Didalam memahami dan mencari bentuk dan karakteristik
tasawuf modern, secara otomatis kita akan dihadapkan pada era yang sekarang ini
dikatakan sebagai era globalisasi, dimana sesuatu yang dianggap pasti menurut
akal menjadi tolak ukur dan ini merupakan hal yang berseberangan dengan dunia
tasawuf yang dalam hal ini sering menggunakan sesuatu yang irrasional, dan akal
tidak mungkin dapat menjangkaunya, kecuali sesuatu yang bisa mengalami
pengalaman kerohanian, yang tak lain dan tak bukan adalah hati.
Adapun bentuk dan karakteristik tasawuf modern sekarang ini
lebih menekankan kepada sikap ihsan, baik itu ihsan kepada Allah maupun ihsan
terhadap sesama manusia, yang tentunya dengan sikap ihsan ini akan tercapailah
kebahagiaan didunia dan akhirat yang merupakan aplikasi dari hasil ibadah dan
interaksi kita kepada Allah dan sesama manusia. Jadi secara konkret bentuk
tasawuf modern ini tidak lain dan tidak bukan adalah ihsan. Tetapi ihsan disini
terbagi kepada dua bentuk, yaitu ihsan kepada Allah dan ihsan kepada sesama
manusia. Sebenarnya hamper sama dengan bentuk tasawuf klasik, tetapi kalau
dalam tasawuf klasik lebih dipentingkan dan ditonjolkan adalah ihsan kepada
Allah, sedangkan pada tasawuf modern ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan
antara ihsan kepada Allah dengan ihsan kepada sesama manusia.sehingga tercapai
apa yang dinamakan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat yang merupakan tujuan
utama dari tasawuf modern itu sendiri.
Tasawuf modern ini merupakan imbas dari perkembangan
pemikiran modern yang mengembangkan dimensi logika rasional, sehingga berdampak
serius terhadap karakteristik dari tasawuf modern ini, yang tentunya mau tidak
mau tasawuf modern ini harus menyesuaikan dengan perkembangan masa dan waktu
serta harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi suatu tempat dimana tasawuf
modern ini timbul dan berkembang, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara
pengamalan tasawuf ini dengan kondisi social kemasyarakatan ditempat itu.
Karena dalam tasawuf modern ini, yang merupakan pembeda dari
tasawuf klasik adalah kemauan untuk memperbaiki kehidupan social masyarakat
yang sedang mengalami suatu krisis baik itu krisis moral maupun krisis ekonomi.
Jadi dalam tasawuf modern ini tidak ada kehendak untuk mengasingkan dan
bersikap eksklusif dari masyarakat, berbeda jauh dengan tasawuf klasik yang
seringkali pengamalannya itu dengan cara menjauhkan diri dari kontak social
dengan masyarakat, padahal kita diciptakan sebagai makhluk social atau dalam
bahasa Aristoteles-nya, “zoon politicon”, yang tentunya memerlukan makhluk lain
dalam setiap interaksi kita.
Kalau kita seandainya melupakan tanggung jawab kita sebagai
makhluk social, apakah itu tidak menyalahi kodrat kita dan menafikan diri kita
sebagai khalifah dimuka bumi yang ditugaskan oleh Allah untuk memakmurkan dan
mensejahterakan kehidupan bumi. Apakah hal tersebut bukannya merupakan
kekufuran kita terhadap ni’mat dunia yang Allah berikan. Tidak takutkah kita
dengan murka Allah yang akan ditimpakan kepada kita, jika seandainya kita tidak
melaksanakan tanggung jawab kita untuk memakmurkan bumi ini dan menyelamatkan
dari tangan-tangan jahat yang ingin menghancurkan bumi ini.
Jadi sebenarnya tasawuf modern ini, lebih mengutamakan ihsan
yang bersifat konkret yang menyentuh langsung dengan kehidupan social
kemasyarakatan, bukan dengan sesuatu yang bersifat abstrak, karena ibadah
(baca: ibadah mahdloh) itu adalah hal yang wajib bagi setiap hamba, tetapi
hanya menyangkut hubungan seseorang dengan sangg khalik yang tentunya tidak
berdampak apa-apa bagi orang lain, sebab itu hanyalah untuk kebahaggiaan
akhirat saja. Sedangkan dalam tasawuf modern, harus ada keseimbangan antara
dunia dengan akhirat, sehingga akan tercapailah apa yang dinamakan dengan
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.
G.Manfaat
dan Tujuan Tasawuf Modern
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu,
bahwa sebenarnya tujuan tasawuf modern itu tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi antara
kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat itu ada suatu keseimbangan dari segi
aplikasinya. Sebab kebahagiaan dunia itu merupakan jembatan untuk mencapai
kebahagiaan akhirat, karena Nabi SAW sendiri sudah bersabda dalam salah satu
hadistnya yang artinya: “bekerjalah kamu untuk duniamu, seakan-akan kamu akan
hidup selamanya dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok
pagi”.
Dengan merujuk kepada matan hadist tersebut sudah
selayaknyalah kita untuk tidak mengabaikan kehidupan dunia, sebab Nabi SAW
sendiri tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup eksklusif dari masyarakat,
bahkan beliau sangat menganjurkan kepada kita agar peduli terhadap orang lain,
karena hal tersebut merupakan salah satu jalan menuju dua kebahagiaan,
sebagaimana perkataan Ibnu Khaldun: “bahagia itu ialah tunduk dan patuh
mengikuti garis-garis Allah dan perikemanusiaan”.
Jadi pada dasarnya tasawuf modern ini lebih sesuai dengan
ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Nabi SAW yaitu senantiasa berintegratif
dengan kehidupan masyarakat dan senantiasa peduli dengan problem social
kemasyarakatan yang terjadi. Sasaran tasawuf modern ini tidak hanya terbatas
pada aspek keakhiratan saja, bahkan sangat netral sekali, sehingga tercapailah
tujuannya yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sebagaimana yang tersurat
dalam kitab suci al-Qur’an yang artinya:
“Ya
Allah berilah kami kebahagiaan di dunia dan beri pula kami kebahagiaan di
akhirat, serta jauhkanlah kami dari azab neraka