“SEKILAS: LATAR BELAKANG MUNCULNYA
TREM PERADILAN DALAM ISLAM”
Disusun oleh:
SAMIATI (170202061)
OMY TRIARIANI (170202062)
JURUSAN AHWAL
AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MATARAM ( UIN )
TAHUN AKADEMIK 2017 /
2018
SEJARAH PERADILAN
1.
Tentang peradilan sebelum
islam
Sejarah
adanya peradilan telah dikenal sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan
kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu, peradilan
telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak mungkin suatu pemerintah
didunia ini, apa pun bentuknya, yang akan dapat berdiri tanpa menegakkan
peradilan, karena tidak mungkin masyarakat manusia dapat menghindari
persengketaan, oleh karena itu pula maka peradilan dipandang suci oleh semua
bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya. Karena menegakkan peradilan berarti
memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedhaliman, menyampaikan hak kepada
yang punya, mencegah tindakan kedhaliman, mengusahakan islah diantara manusia,
menyelamatkan sebagian mereka kesewenang-wenangan atas sebagian yang lain,
karena manusia tidak mungkin memperoleh kestabilan urusan mereka tanpa adanya
peradilan. Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi, dan pada
suatu saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan manusia diperjodohkan, dan
perzinaan diharamkan, dan harta benda ditetapkan pemiliknya, dan juga suatu
ketika dicabut hak pemilikan itu, dan muamalat dapat diketahui mana yang boleh,
mana yang dilarang, mana yang makruh, dan mana yang disunnatkan.
Kehidupan
manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak,
maka kehidupan mereka akan menjadi liar, dan kalau telah dimaklumi perlunya
undang-undang bagi kehidupan masyarakat, sedang sekedar menetapkan susunan
undang-undang belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan
menertibkannya, karena manusia kadang-kadang berselisih tentang makna rumusan
undang-undang, tentang tunduk kepada undang-undang serta kewajiban
menghormatinya, dan kadang-kadang perselisihan mereka itu terletak pada
penerapan rumusan undang-undang itu terhadap kasus yang terjadi, baik yang
menyangkut makna undang-undang itu sendiri maupun segi lainnya, dan
kadang-kadang ada yang secara terang-terangan menentang rumnusan undang-undang
itu atau memungkirinya. Maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna
undang-undang dengan secara sempurna, karena menentukan yang lebih nyata dan
kekhususan-kekhususan rumusan undang-undang adalah termasuk sifat suatu
penetapan.
2.
Peradilan bagi bangsa
Romawi, Persi, dan Mesir Kuno
Bangsa
Persi dan Mesir Kuno telah memiliki lembaga peradilan yang terorganisir dengan
memiliki undang-undang, peraturan-peraturan atau program-program yang
dilaksakan oleh para qadli, dan sejarah Timur Dekat mengisahkan kepada kita,
tentang adanya Syariat Hamurabi yang meletakkan dasar peradilan yang telah
mendekati keadilan, dan bangsa Asyur yang didirikan diatas puing2nya, dan
setelah itu bangsa Israil, dan bangsa-bangsa Arab sebelum Islam, yang
berpendapat bahwa alat-alat bukti itu adalah : saksi, sumpah atau keadaan
tertangkap basah. Sejarah bangsa-bangsa Barat juga menceritakan kepada kita
tentang teknis mengambil keputusan dan alat-alat pembuktian yang asing sampai
pada pertengahan abad ke-12 Masehi.
Apapun
keadaannya, namun yang jelas, bahwa sejarah peradilan telah dimulai sejak
masa-masa silam. Sedang hal yang istimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa
ini tentang peradilan ada dua macam :
a.
Kemampuan qadli, dan
kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang diangkat sebagai qadli apabila ia
tidak memiliki kemampuan bidang ini, oleh karena itu akan diperhatikan pula
tentang kecerdasannya, kecerdikannya, dan keluasan ilmunya, demikian juga
tentang segi-segi ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya, dan keluhuran
budinya.
b.
Bahwa qadli harus diliputi
situasi yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang
suci, maka semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula
jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadli.
3.
Peradilan bagi bangsa Arab
sebelum Islam
Bangsa
Arab sebelum islam telah memiliki qadli untuk menyelesaikan segela sengketa
mereka, hanya saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat
dijadikan pegangan para qadli. Sedang mereka memutuskan hukum-hukum mereka
dengan cara menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan
dari pendapat kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang
arif yang dikenal sebagai orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menyita
hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda, sedang kecerdasan ahli-ahli hukum
mereka, menyebabkan mereka lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat
dan tanda-tanda daripada dengan alat-alat bukti lainnya seperti saksi atau
pengakuan.
Dan mereka
menyebut qadla’ sebagai hukuman, sedang qadli mereka sebut hakam sendiri dan
hukuman (badan peradilan) bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali
bagi suku Qurais, dan para hakam menyelenggarakan sidang-sidangnya dibawah
pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan, sampai dibangunnya gedung-gedung dan
bangunan-bangunan dan diantara gedung-gedung itu yang termasyhur ialah Darun
Nadwah yang berada di Mekah dan gedung itulah yang pertama kali didirikan
disana, yang dibangun oleh Qushay Bin Ka’ab, yang pintunya dihadapkan mengarah
ke Ka’bah, dan pada permulaan Islam, gedung itu menjadi tempat tinggalnya para
khalifah dan amir-amir diwaktu musim haji, dan pada pertengahan abad ke-13 H
setelah gedung roboh atau doyong, maka khalifah Mu’tadlid al Abbasy (281 H)
memerintahkan agar gedung tersebut dihancurkan sama sekali dan dihubungkannya
dengan Masjidil Haram.
4.
Peradilan di masa
Rasulullah SAW
Setelah
islam datang dan Allah memerintahkan Nabi Nya (Muhammad SAW) agar menyampaikan
risalah, maka Ia memerintahkan juga agar Ia menyelesaikan segala sengketa yang
timbul dengan firman Nya (Al-quran 4/64), dan di ayat lain Ia memerintahkan
kepada Nabi-Nya dan membimbingnya agar memutuskan hukum dengan apa yang Ia
turunkan kepadanya, firmanNya (Al-qur’an 5/51) dan (Al-quran 4/105).
Mulailah
Rasulullah Saw, melaksanakan perintah Tuhannya, kemudian ia berdakwah, dan di
Madinah ia menampilkan dirinya untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan,
dan memberikan fatwa-fatwa, disamping menyampaikan kepada manusia apa yang
diwahyukan Allah kepadanya tentang hukum-hukum dan mengatur pelaksanaan hukum-hukum
tersebut, maka ditangan Nabi saw, tergenggam kekuasaan-kekuasaan ini semua dan
belum di pisahkan, maka diajukanlah kepadanya berbagai perkara lalu ia putuskan
hukumnya, sebagaimana halnya ia memberikan fatwa apabila diajukan permohonan
fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia atas dasar
lahirnya perkara dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan hukum
hukum Nabi saw adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu.
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadist, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada
dua orang laki-laki yang bersengketa tentang harta pusaka antara keduanya yang
telah lenyap bukti-buktinya.
Dan
kedua belah pihak dihadapan Nabi saw, masing-masing bebas (mengemukakan isi
hatinya) sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan pihak lawannya.
Sedang alat-alat bukti baginya adalah : pengakuan, saksi, sumpah, firasat,
diundi dan lain-lainnya, dan Nabi saw bersabda :
“Bukti itu
(wajib) bagi penggugat, dan sumpah itu (wajib) bagi orang yang ingkar.”
Maksudnya,
bahwa penggugat dituntut untuk dapat membuktikan atas gugatannya, dan Nabi saw,
bersabda :
“Aku
diperintahkan memutuskan hukum dengan berdasarkan kepada lahirnya perkara,
sedang Allah yang mengetahui segala rahasia.”
Disamping itu,
setelah dakwah islam mulai tersebar, maka Rasul saw. Memberi izin sebagian
sahabatnya (untuk memutuskan hukum perkara yang mereka hadapi) karena jauhnya
tempat, dan bahkan diizinkan juga diantara sahabatnya untuk memutuskan perkara
di tempat Nabi saw berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi
sahabatnya tentang ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta
membimbing dan menyiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan
hakim-hakim.
a.
Teknis mereka dalam memutus
perkara dan memberi fatwa
Adalah para khalifah, apabila di hadapkan suatu
perkara kepada mereka, atau dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari
ketentuan hukumnya didalam kitabullah, kemudian apabila mereka tidak menemukan
suatu ketentuan hukum di dalam kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam
sunnah Nabi saw, lalu apabila mereka tidak mendapatkannya di sunnah, maka
mereka menanyakan orang-orang, apakah diantara mereka ada yang mengetahui hukum
perkara seperti itu didalam sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegangan
dengan sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan saksi-saksi, seperti
yang diperbuat Abu Bakar, Umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut
atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali Bin Abi Thalib. Dan kalau
mereka tidak menemukan hukum masalah yang mereka hadapi itu dengan cara
demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bersama (jama’i) apabila
masalah itu menyangkut hukum dan berhubungan dengan masyarakat, dan dengan
ijtihad perorangan apabila masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus,
menyangkut urusan orang-seorang.
Kesimpulannya, bahwa pada periode ini para qadli belum
mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk qadla’nya
karena qadlilah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang di
keluarkannya,demikian juga qadli pada pada masa itu belum memiliki tempat
khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada
dirumah, kemudian pihak-pihak berperkara itu datang ke rumahnya, lalu diperiksa
dan di putus disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah
yang di jadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungi masjid
yang sebenarnya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi
ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial, seperti peradilan,
pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.
5.
Peradilan dimasa Bani
Umayah
Terjadilah
kekacauandan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan
Muawiyah-Khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fiqih
dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai
ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami
sebutkan terdahulu ditempatnya, maka khalifahlah yang mengangkat qadli-qadli
yang bertugas diibukota pemerintahan, dan untuk qadli-qadli yang bertugas
didaerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka
qadli-qadli itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri,
hanya mereka secara hirarkis berada di bawah khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan
qadli-qadli pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam
urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu
adalah khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan
itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan
itu telah memiliki ketetapan.
Qadli pada
umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada qadli yang memegangi suatu
pendapat tertenu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya
dari Al Quran atau Sunnah Nabi saw atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya
sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia
minta bantuan ahli-ahli fiqih yang berada dikota itu, dan banyak diantara
mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu
ketentuan pendapat. Oleh karena itu, qadli-qadli pada masa itu
keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecendrungan-kecendrungan
pribadi, sehingga keputusan-keputusan mereka itu benar-benar berwibawa,
meskipun terhadap penguasa itu sendiri. Dan juga anatara faktornya, karena
khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan-keputusan yang mereka keluarkan,
disamping adanya ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan
penyelewengan.
Dan
dalam periode ini belum dikenal adanya pencatatan keputusan pengadilan, dan
teknis pengajuan perkara adalah dengan cara, mula-mula di ajukan kepada qadli,
lalu di telitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara itu dihadapkan ke muka
sidang, lalu qadli menyampaikan keputusannya.
Hanya dimasa
khalifah Mu’awiyah sudah ada seorang qadli di Mesir yang berpendapat tentang
pentingnya pencatatan keputusan. Karena pada suatu ketika pernah terjadi
sengketa harta pusaka yang telah di putus, kemudian dilain waktu pihak-pihak
yang berperkara tersebut mengingkari keputusan itu dan mereka saling berselisih
tentang keputusan itu,kemudian mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut
lalu di putus dan dicatat serta dihimpun didalam buku khusus dan itu merupakan
suatu keputusan yang pertama kali di bukukan (dicatat).
6.
Peradilan dimasa Bani Abbas
dan sesudahnya
Dimasa
Bani Abbas ini, peradaban telah semakin meluas, dan berbagi kasus telah terjadi
kibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian, dan
kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat
antara ahli-ahli fiqih, dan timbulah mazhab-mazhab sehingga sehingga timbul
pula taqlid yang hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusa-keputusan para
qadli, karena seorang qadli di irak memutus hukum dengan berpegangan kepada
mazhab hanafi dan di syam dan Maghribi mengikuti mazhab Syafi’i. Dan apa bila
dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termahsyur
dinegeri itu, maka ditunjuklah seorang qadli yang akan memutus perkara itu
sesuai dengan mazhab yang diikuti kedua pihak yang berperkara, dan bahkan ada
juga sebagian Khalifah abbasyiah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh
qadli, sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqaha’ dari jabatan ini.
Dan disitu kacau balau dalam hukum
ini, serta tidak ada ketentuan hukum yang harus
di pegang oleh qodli, sehingga mendorong Ibnu Muqaffa’ untuk mengirim
surat kepada Khalifah Abu Ja’far al Mansur, agar dipilih diantara pendapat dari
imam-imam mazhab dan fuqaha’, suatu hukum yang akan dipeggang oleh para qadli
diseluruh negeri. Dan Khalifa benar-benar telah menyetujui keinginan ini, dan
meminta kepada imam Malik untuk melaksanakanya ide sebagaimana yang akan kami
terangkan di tempatnya nanti.
Seperti hal Abu Yusuf ahli fiqih
dari mazhab Hanafi, bahwa ia telah mendapatkan kehormatan dari khalifa untuk
mengankat jabatan qadli dari kalangan ahli-ahli fiqih pengikut mazhab Hanafi,
dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang penting yang dinggat oleh Abu
Yusuf, yang disebut qadli qudlat, yang bertugas mengawasi mengangkat, dan
memcatb qadli-qadli, seta menijau keputusan-keputusan yang merka kelluarkan,
maka pada masa itu, telah ada pembagian wilaya peradilan tertentu dan telah ada
ketua Mahkama Agung yang menertibkan serta mengatur urusan mereka. Tetapi
setelah beberapa daera memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad, yang
di Andalusia (spanyol) disebut sebagai qadlil jamaah.
Bagi para qadli dan ulama yang
memiliki pakayan khusus akan memebedakanmereka dengan rakyat umum. Pengawal
khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung, dan beberapa orang pembantu yang
mengatur penaju perkara seta meneliti dakhwa-dakhwa merek. Pada masa ini telah
dilakukan pembukuan putusan seca sempurna, pecatatan wasiat-wasiat dan
hutang-hutang, kekuasaan peradilan semakin meluas, sehingga dimasukan pula
didalamya, kekuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, Wilayatul Hisbah dan
pengawasan mata uang dan Baitul Mal.
Demikianlah, didalam islam yang
berhak menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi bukanlah semata-mata menjadi
wewenang peradilan, akan tetapi disamping peradilan ada lembaga Takhim, yang
diakui oleh islam dan terdapat juga dalam perundang-undangan moderen,
sebagaimana halnya fiqih islami mengakui adanya Wilayatul Hisbah dan wilayatul
Madhalim yang terpisah dari kekuasaan peradilan.
Akhirnya, peradilan islam telah
memiliki organisasi yang sempurnah yang meliputi seluruh wilaya negara, sedang
hakim-hakim dimasa takhliq mengikuti pendapat imam mazhab mereka sehingga hukum
satu masalah dapat saja berbeda-beda menurut perbedaan pendaapat imam madzahab
hakim yang bersangkutan.
7.
Peradilan dimasa Daulat
Usmaniyah
Mesir
telah dibawa oleh Daulat Usmaniyah kepada keadaan keterbukaan dibidang hukum,
dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim, dan kekuasaan
peradilan, disamping membiarkan kekuasan praktis lainya berada pada wewenang
raja-raja. Setelah Daulat Usmaniyah meluaskan lebih jauh penafsiran mereka
tentang makna tasamuh (toleransi) agama terhadap golongan dzimmi yang melampaui
apa yang digariskan Fukaha’ sejauh tunduk mereka kepada kekuasaan peradilan
didalam Daulat Usmaniyah, maka Daulat Usmaniyah telah memperkenankan berdirinya
peradilan untuk golongan-golongan agama diluar islam, dan keadaan ini
berkembang terus sehingga disamping ada peradilan untuk golongan-golongan agama
diluar islam, ada juga perdilan qunshuliy.
8.
Banyaknya peradilan dan
sumber hukum yang berbeda-beda
Pada tahun 1876, Mesir telah mencapai kesempurnaan
dibidang kekuasaan peradilan dan
wewenangnya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar