Selasa, 08 Mei 2018

MAKALAH PERADILAN HUKUM ISLAM



“SEKILAS: LATAR BELAKANG MUNCULNYA TREM PERADILAN      DALAM ISLAM”


Disusun oleh:
SAMIATI                   (170202061)
OMY TRIARIANI    (170202062)




JURUSAN AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM ( UIN )
TAHUN AKADEMIK 2017 / 2018

SEJARAH PERADILAN

1.      Tentang peradilan sebelum islam
Sejarah adanya peradilan telah dikenal sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu, peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak mungkin suatu pemerintah didunia ini, apa pun bentuknya, yang akan dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan, karena tidak mungkin masyarakat manusia dapat menghindari persengketaan, oleh karena itu pula maka peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya. Karena menegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kedhaliman, menyampaikan hak kepada yang punya, mencegah tindakan kedhaliman, mengusahakan islah diantara manusia, menyelamatkan sebagian mereka kesewenang-wenangan atas sebagian yang lain, karena manusia tidak mungkin memperoleh kestabilan urusan mereka tanpa adanya peradilan. Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi, dan pada suatu saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan manusia diperjodohkan, dan perzinaan diharamkan, dan harta benda ditetapkan pemiliknya, dan juga suatu ketika dicabut hak pemilikan itu, dan muamalat dapat diketahui mana yang boleh, mana yang dilarang, mana yang makruh, dan mana yang disunnatkan.
Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar, dan kalau telah dimaklumi perlunya undang-undang bagi kehidupan masyarakat, sedang sekedar menetapkan susunan undang-undang belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena manusia kadang-kadang berselisih tentang makna rumusan undang-undang, tentang tunduk kepada undang-undang serta kewajiban menghormatinya, dan kadang-kadang perselisihan mereka itu terletak pada penerapan rumusan undang-undang itu terhadap kasus yang terjadi, baik yang menyangkut makna undang-undang itu sendiri maupun segi lainnya, dan kadang-kadang ada yang secara terang-terangan menentang rumnusan undang-undang itu atau memungkirinya. Maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna, karena menentukan yang lebih nyata dan kekhususan-kekhususan rumusan undang-undang adalah termasuk sifat suatu penetapan.
2.      Peradilan bagi bangsa Romawi, Persi, dan Mesir Kuno
Bangsa Persi dan Mesir Kuno telah memiliki lembaga peradilan yang terorganisir dengan memiliki undang-undang, peraturan-peraturan atau program-program yang dilaksakan oleh para qadli, dan sejarah Timur Dekat mengisahkan kepada kita, tentang adanya Syariat Hamurabi yang meletakkan dasar peradilan yang telah mendekati keadilan, dan bangsa Asyur yang didirikan diatas puing2nya, dan setelah itu bangsa Israil, dan bangsa-bangsa Arab sebelum Islam, yang berpendapat bahwa alat-alat bukti itu adalah : saksi, sumpah atau keadaan tertangkap basah. Sejarah bangsa-bangsa Barat juga menceritakan kepada kita tentang teknis mengambil keputusan dan alat-alat pembuktian yang asing sampai pada pertengahan abad ke-12 Masehi.
Apapun keadaannya, namun yang jelas, bahwa sejarah peradilan telah dimulai sejak masa-masa silam. Sedang hal yang istimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa ini tentang peradilan ada dua macam :
a.       Kemampuan qadli, dan kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang diangkat sebagai qadli apabila ia tidak memiliki kemampuan bidang ini, oleh karena itu akan diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, dan keluasan ilmunya, demikian juga tentang segi-segi ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya, dan keluhuran budinya.
b.      Bahwa qadli harus diliputi situasi yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci, maka semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadli.
3.      Peradilan bagi bangsa Arab sebelum Islam
Bangsa Arab sebelum islam telah memiliki qadli untuk menyelesaikan segela sengketa mereka, hanya saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat dijadikan pegangan para qadli. Sedang mereka memutuskan hukum-hukum mereka dengan cara menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan dari pendapat kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang arif yang dikenal sebagai orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menyita hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda, sedang kecerdasan ahli-ahli hukum mereka, menyebabkan mereka lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat dan tanda-tanda daripada dengan alat-alat bukti lainnya seperti saksi atau pengakuan.
Dan mereka menyebut qadla’ sebagai hukuman, sedang qadli mereka sebut hakam sendiri dan hukuman (badan peradilan) bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali bagi suku Qurais, dan para hakam menyelenggarakan sidang-sidangnya dibawah pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan, sampai dibangunnya gedung-gedung dan bangunan-bangunan dan diantara gedung-gedung itu yang termasyhur ialah Darun Nadwah yang berada di Mekah dan gedung itulah yang pertama kali didirikan disana, yang dibangun oleh Qushay Bin Ka’ab, yang pintunya dihadapkan mengarah ke Ka’bah, dan pada permulaan Islam, gedung itu menjadi tempat tinggalnya para khalifah dan amir-amir diwaktu musim haji, dan pada pertengahan abad ke-13 H setelah gedung roboh atau doyong, maka khalifah Mu’tadlid al Abbasy (281 H) memerintahkan agar gedung tersebut dihancurkan sama sekali dan dihubungkannya dengan Masjidil Haram.
4.      Peradilan di masa Rasulullah SAW
Setelah islam datang dan Allah memerintahkan Nabi Nya (Muhammad SAW) agar menyampaikan risalah, maka Ia memerintahkan juga agar Ia menyelesaikan segala sengketa yang timbul dengan firman Nya (Al-quran 4/64), dan di ayat lain Ia memerintahkan kepada Nabi-Nya dan membimbingnya agar memutuskan hukum dengan apa yang Ia turunkan kepadanya, firmanNya (Al-qur’an 5/51) dan (Al-quran 4/105).
Mulailah Rasulullah Saw, melaksanakan perintah Tuhannya, kemudian ia berdakwah, dan di Madinah ia menampilkan dirinya untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan, dan memberikan fatwa-fatwa, disamping menyampaikan kepada manusia apa yang diwahyukan Allah kepadanya tentang hukum-hukum dan mengatur pelaksanaan hukum-hukum tersebut, maka ditangan Nabi saw, tergenggam kekuasaan-kekuasaan ini semua dan belum di pisahkan, maka diajukanlah kepadanya berbagai perkara lalu ia putuskan hukumnya, sebagaimana halnya ia memberikan fatwa apabila diajukan permohonan fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia atas dasar lahirnya perkara dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan hukum hukum Nabi saw adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadist, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada dua orang laki-laki yang bersengketa tentang harta pusaka antara keduanya yang telah lenyap bukti-buktinya.
Dan kedua belah pihak dihadapan Nabi saw, masing-masing bebas (mengemukakan isi hatinya) sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Sedang alat-alat bukti baginya adalah : pengakuan, saksi, sumpah, firasat, diundi dan lain-lainnya, dan Nabi saw bersabda :
“Bukti itu (wajib) bagi penggugat, dan sumpah itu (wajib) bagi orang yang ingkar.”
Maksudnya, bahwa penggugat dituntut untuk dapat membuktikan atas gugatannya, dan Nabi saw, bersabda :
“Aku diperintahkan memutuskan hukum dengan berdasarkan kepada lahirnya perkara, sedang Allah yang mengetahui segala rahasia.”
Disamping itu, setelah dakwah islam mulai tersebar, maka Rasul saw. Memberi izin sebagian sahabatnya (untuk memutuskan hukum perkara yang mereka hadapi) karena jauhnya tempat, dan bahkan diizinkan juga diantara sahabatnya untuk memutuskan perkara di tempat Nabi saw berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi sahabatnya tentang ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta membimbing dan menyiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan hakim-hakim.
a.       Teknis mereka dalam memutus perkara dan memberi fatwa
Adalah para khalifah, apabila di hadapkan suatu perkara kepada mereka, atau dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari ketentuan hukumnya didalam kitabullah, kemudian apabila mereka tidak menemukan suatu ketentuan hukum di dalam kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam sunnah Nabi saw, lalu apabila mereka tidak mendapatkannya di sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah diantara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti itu didalam sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegangan dengan sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan saksi-saksi, seperti yang diperbuat Abu Bakar, Umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali Bin Abi Thalib. Dan kalau mereka tidak menemukan hukum masalah yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bersama (jama’i) apabila masalah itu menyangkut hukum dan berhubungan dengan masyarakat, dan dengan ijtihad perorangan apabila masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus, menyangkut urusan orang-seorang.
Kesimpulannya, bahwa pada periode ini para qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk qadla’nya karena qadlilah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang di keluarkannya,demikian juga qadli pada pada masa itu belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada dirumah, kemudian pihak-pihak berperkara itu datang ke rumahnya, lalu diperiksa dan di putus disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang di jadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungi masjid yang sebenarnya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial, seperti peradilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.
5.      Peradilan dimasa Bani Umayah
Terjadilah kekacauandan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan Muawiyah-Khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu ditempatnya, maka khalifahlah yang mengangkat qadli-qadli yang bertugas diibukota pemerintahan, dan untuk qadli-qadli yang bertugas didaerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka qadli-qadli itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, hanya mereka secara hirarkis berada di bawah khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan qadli-qadli pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu adalah khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan itu telah memiliki ketetapan.
Qadli pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada qadli yang memegangi suatu pendapat tertenu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Quran atau Sunnah Nabi saw atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan ahli-ahli fiqih yang berada dikota itu, dan banyak diantara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Oleh karena itu, qadli-qadli pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecendrungan-kecendrungan pribadi, sehingga keputusan-keputusan mereka itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap penguasa itu sendiri. Dan juga anatara faktornya, karena khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, disamping adanya ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.
Dan dalam periode ini belum dikenal adanya pencatatan keputusan pengadilan, dan teknis pengajuan perkara adalah dengan cara, mula-mula di ajukan kepada qadli, lalu di telitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara itu dihadapkan ke muka sidang, lalu qadli menyampaikan keputusannya.
Hanya dimasa khalifah Mu’awiyah sudah ada seorang qadli di Mesir yang berpendapat tentang pentingnya pencatatan keputusan. Karena pada suatu ketika pernah terjadi sengketa harta pusaka yang telah di putus, kemudian dilain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut mengingkari keputusan itu dan mereka saling berselisih tentang keputusan itu,kemudian mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut lalu di putus dan dicatat serta dihimpun didalam buku khusus dan itu merupakan suatu keputusan yang pertama kali di bukukan (dicatat). 
6.      Peradilan dimasa Bani Abbas dan sesudahnya
Dimasa Bani Abbas ini, peradaban telah semakin meluas, dan berbagi kasus telah terjadi kibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian, dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat antara ahli-ahli fiqih, dan timbulah mazhab-mazhab sehingga sehingga timbul pula taqlid yang hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusa-keputusan para qadli, karena seorang qadli di irak memutus hukum dengan berpegangan kepada mazhab hanafi dan di syam dan Maghribi mengikuti mazhab Syafi’i. Dan apa bila dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termahsyur dinegeri itu, maka ditunjuklah seorang qadli yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti kedua pihak yang berperkara, dan bahkan ada juga sebagian Khalifah abbasyiah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh qadli, sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqaha’ dari jabatan ini.
            Dan disitu kacau balau dalam hukum ini, serta tidak ada ketentuan hukum yang harus  di pegang oleh qodli, sehingga mendorong Ibnu Muqaffa’ untuk mengirim surat kepada Khalifah Abu Ja’far al Mansur, agar dipilih diantara pendapat dari imam-imam mazhab dan fuqaha’, suatu hukum yang akan dipeggang oleh para qadli diseluruh negeri. Dan Khalifa benar-benar telah menyetujui keinginan ini, dan meminta kepada imam Malik untuk melaksanakanya ide sebagaimana yang akan kami terangkan di tempatnya nanti.
            Seperti hal Abu Yusuf ahli fiqih dari mazhab Hanafi, bahwa ia telah mendapatkan kehormatan dari khalifa untuk mengankat jabatan qadli dari kalangan ahli-ahli fiqih pengikut mazhab Hanafi, dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang penting yang dinggat oleh Abu Yusuf, yang disebut qadli qudlat, yang bertugas mengawasi mengangkat, dan memcatb qadli-qadli, seta menijau keputusan-keputusan yang merka kelluarkan, maka pada masa itu, telah ada pembagian wilaya peradilan tertentu dan telah ada ketua Mahkama Agung yang menertibkan serta mengatur urusan mereka. Tetapi setelah beberapa daera memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad, yang di Andalusia (spanyol) disebut sebagai qadlil jamaah.
            Bagi para qadli dan ulama yang memiliki pakayan khusus akan memebedakanmereka dengan rakyat umum. Pengawal khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung, dan beberapa orang pembantu yang mengatur penaju perkara seta meneliti dakhwa-dakhwa merek. Pada masa ini telah dilakukan pembukuan putusan seca sempurna, pecatatan wasiat-wasiat dan hutang-hutang, kekuasaan peradilan semakin meluas, sehingga dimasukan pula didalamya, kekuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, Wilayatul Hisbah dan pengawasan mata uang dan Baitul Mal.
            Demikianlah, didalam islam yang berhak menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi bukanlah semata-mata menjadi wewenang peradilan, akan tetapi disamping peradilan ada lembaga Takhim, yang diakui oleh islam dan terdapat juga dalam perundang-undangan moderen, sebagaimana halnya fiqih islami mengakui adanya Wilayatul Hisbah dan wilayatul Madhalim yang terpisah dari kekuasaan peradilan.
            Akhirnya, peradilan islam telah memiliki organisasi yang sempurnah yang meliputi seluruh wilaya negara, sedang hakim-hakim dimasa takhliq mengikuti pendapat imam mazhab mereka sehingga hukum satu masalah dapat saja berbeda-beda menurut perbedaan pendaapat imam madzahab hakim yang bersangkutan.
7.      Peradilan dimasa Daulat Usmaniyah
Mesir telah dibawa oleh Daulat Usmaniyah kepada keadaan keterbukaan dibidang hukum, dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim, dan kekuasaan peradilan, disamping membiarkan kekuasan praktis lainya berada pada wewenang raja-raja. Setelah Daulat Usmaniyah meluaskan lebih jauh penafsiran mereka tentang makna tasamuh (toleransi) agama terhadap golongan dzimmi yang melampaui apa yang digariskan Fukaha’ sejauh tunduk mereka kepada kekuasaan peradilan didalam Daulat Usmaniyah, maka Daulat Usmaniyah telah memperkenankan berdirinya peradilan untuk golongan-golongan agama diluar islam, dan keadaan ini berkembang terus sehingga disamping ada peradilan untuk golongan-golongan agama diluar islam, ada juga perdilan qunshuliy.
8.      Banyaknya peradilan dan sumber hukum yang berbeda-beda
Pada tahun 1876, Mesir telah mencapai kesempurnaan dibidang kekuasaan  peradilan dan wewenangnya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar