Selasa, 08 Mei 2018

MAKALAH TARIKH TASYRI'



(LANJUTAN PRIODESASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM)


DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK  IV
1.      MITA SAYUTI (170202087)
2.      SAMIATI (1702020
3.      DARMAN HUDA (17 02020

DOSEN PENGAMPU : M. HOR.S.Ag, M.H.I

JURUSAN AHWAL AL-SAHYSYIAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM


KATA PENGANTAR
BISSMILLAHIRRAHMANIRRAKHIM
            ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARKATUH
                        Dengan menyebut nama Allah SWT Yang maha pengasih lagi maha penyayang kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahma, hidayah, dan inayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ LANJUTAN PRIODESASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM (TASYRI’ ISLAM)”.
                        Makalah ini telah kami susundengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
                        Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya, bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan, kalimat, maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
                        Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.


                                                                                                                                                Matram, 27 maret  2018

                                                                                                                        Penyusun









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB  II PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
B.      TUJUAN
C.      RUMUSAN MASALAH
BAB  II  PEMBAHASAN
A.      FASE TAQLID DAN KEJUMUDAN
B.      FASE KEBANGKITAN ILMU FIQH
BABA  III  PENUTUP
A.      KESIMPULAN
B.      SARAN
               













BAB  I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Al- quran dan sunnah adalah sumber utama hukum islam. Namun karea turunya  al-quran terbatas oleh waktu, sedangkan hukum semakin berkembang dari masa kemasa, maka diperlukan adnya ijtihad untuk menggali hukum yang terkandung didalamnya.
Pada sejarahnya, pengambilan hukum dengan menggunakan ijtihad merupakan fase yang panjang. Hingga datang fase dimana ijtihad tidak lagi gencar dilakukan,yakni fase dimana para ulama merasa cukup puas dengan hanya mengikuti imam madzhab mereka tampa perlu melakukan ijtihad sendiri.fase ini biasa disebut fase taqlid jika pada fase-fase sebelunya yang dilakukan dalam pengambilan hukum adalah merujuk langsung pada al-qur’an dan as-sunnah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Menjelaskan fase taqlid dan kejumudannya
2.      Menjelaskan kebangkitan ilmu fiqh

C.     TUJUAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah tarikh tasyri’.selain itu tujuan penulis yaitu untuk memahami dan mengetahui “ Lanjutan priodesasi perkembangan hukum islam”.



















BAB  II
PEMBAHASAN
A.    FASE TAQLID DAN KEJUMUDAN
1.      Pengertian taqlid
Secara bahasa kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidanyang mengandung arti mengulangi, menghiasi, meniru, menyerahkan, atau mengikuti.[1] Sementara itu pengertian yaqlid secara istilah ialah mengikuti pendapat seorang faqih atau imam tanpa mengetahui sumber hukunya, seorang yang bertaqlid, ia seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang yang mujtahid.
Adapun pengertian taqlid menurut beberapa ahli:
1). IMAM AL-GAZALI
Taqlid adalah mengamalkan satu pendapat tampa ada landasan hujjah syariat lalu mengikuti suatu pendapat tampa mengetahui hujjahnya.
2). AL-AMIDI
Mengamalkan pendapat orang lain tampa mengetahui hujjah yang seharusnya, seperti orang awam atau mujtahid mengikuti pendapat mujtahid lainnya yang sama.
2.      Priode taqlid
Priode taqlid adalah priode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum dari teks al-quran dan sunnah dan semangat mengistinbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nas dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Priode tqlid mulai sekitar pertengahan abat IV  H/ X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik intelektual, moral, dan sosial dan mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kemerdekaan dan kebebasan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-quran dan sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi mereka sudah puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni imam syafi’i, abu hanifah, maliki, ahmad bin hambal. Mereka mempersempit ruang cakra wala pikiran mereka pada lingkungan terbatas mengenai cabang-cabang hukum dan ushulnya dari majhab para imam mujtahid tersebut, mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-ungkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsip yang umum.
1). Kondisi taqlid menjelang runtuhnya Baghdad
Kondisi taqlid ditandai sejak suasana politik tidak kondusif mulai abat IV H.sampai runtuhnya Abasyiah pada abat VII H. Pada masa detik-detik lemahnya Abasyiah yang diawali dengan terputusnya ikatan politik dengan daerah; di barat (Andalusia), Abdurrahman Al-Nasir dari Bani Umayyah memproklamasikan diri sebagai amirulmu’minin. Di Afrika Utara, ubaidillah Al-mahdi mendirikan daulah Fathimiyyah. Di Mesir muhammad Al-ikhsyid mengakui keturunan Abbas, demikian juga Bani Hambal di Moshul dan Halb. Di Yaman terdapat syiah Zhaidiyyah, sedangkan Bagdad dikuasai Bani Buwaihi dan bani Abbas tinggal nama saja.
Masing-masing kelompok penguasa memusuhi kelompok lain, permusuhan yang paling dahsyat terjadi antara bani Abbas (Baghdad) dan Bani Fatimiyyah ( Mesir dan Syam). Bani Abbas memutuskan hubungan dengan bani Fatamiyyah, tetapi bani Buwaihi yang diberi kepercayaan Abbasyiah itu cenderung kepada Fatimiyyah. Tidak lama kemudian bani Saljuk (turki) bergerak dari Timur dan menyapu bersih lawannya, termaksud bani Buwaihi, bani Saljuk menguasai wilayah Barat sampai dengan Baghdad dan Asia Tengah kemudian menundukkan Fatimiyyah di Syam. Kelemahan dan pertentangan orang-orang mesir di negari Syam ini di manfaatkan Barat untuk menyerang wilayah Islam yang disebut dengan perang salib.
Kondisi politik di atas tidak tidak memengaruhi perkembangan keilmuan ulama, terlebih pada masa bani Saljuk di timur dan Fatimiyyah di mesir. Pada masa ini lahir ulama yang berperan dalam pembinaan hukum islam, tetapi tidak sehebat ulama sebelumnya yang mampu berijtihad secara mutlak. Ulama pada priode ini sibuk mempelajari kitab-kitab dan metode tertentu untuk memahami hukum islam. Mereka mengikuti majhab tertentu dan mengarahkan segala kemampuan untuk menolong mazhabnya, baik secara global maupun terperinci.[2]
                  Ada beberapa sebab tumbuhnya jiwa taqlid pada masa ini, yaitu sebagai berikut :
a.       Murid-murid yang berkedudukan
b.      Pengadilan yang berpedoman pada buku mazdhab
c.       Pembukuan kitab-kitab mazdhab
d.      Pembelaan pengikut mazdhab
2). Kondisi taqlid sesudah runtuhnya Abasiyyah
Sesudah runtuhnya Abasiyyah (655 H/1258 M), Turki menguasai sebagian negara-negara islam, termaksud negri Syam. Orang-orang mesir menerima merka dimata air Jalut pimpinan Al-Muzhaffar. Unsur turki yang menguasai syam dan mesir disebut Mamalik. Hampir seluruh negara islam dikuasai turki, kecuali Magrib dikuasai Barbar Barat.
Pada permulaan abad VIII H, muncul seorang tokoh besar diturki Asia, yaitu kepala suku turki Ustman Kajuk. Ia membina kerajaan kaumnya dari puing-puing peninggalan keluarga Saljuk yang ada di Asia tengah. Ia dan anak-anaknya menaklukan kerajaan kecil di sekitarnya lalu membentuk kerajaan besar. Kemudian ia mengarahkan segala kekuatannya ke Eropa, sehingga pada pertengahan abad IX menguasai kota konstatinopel yang pernah menjadi ibu kota kerajaan Barat. Kemudia menguasai Mesir dan melenyapkan kekuasaan khalifah Abasiyyah. Khalifah dipindahkan dari kairo ke kota Konstatinopel, sementara Mesir menjadi daerah Ustmaniyyah dimana kondisi politik dan keilmuan Mesir semakin turun.
Pada masa ini, angin ijtihad sudah mulai teduh dan tidak ada keistimewaanya. Jika memiliki keistimewaan, maka keistimewaanya adalah menetapkan jiwa taqlid semata kedalam hati ulama. Separuh pertama, yaitu masa kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan islam khalifah Abbasiyyah. Pada masa ini, beberapa orang yang menggabungkan diri kepada imam tertentu dan disebut dengan mujtahid muntasib. Separuh kedua, yaitu dari abat X sampai sekarang, diumumkan tidak boleh seorang faqih memilih dan menarjih cukup kitab-kitab yang ada.[3]
Mesir sudah mencoba berusaha mengembalikan kemuliaan di bidang ilmu, namun terhalang oleh dua hal berikut :
a.       Terputusnya hubungan antara ulama di negara-negara islam
b.      Terputunya hubungan dengan kitab-kitab para imam
3.      priode kejumudan dan kemunduran
priode ini dimulai sejak tahun 656 H, ketika kota Baghdad jatuh ketangan tentara Mongol dan berahir pada abad 13
1). Kondisi fiqh dan konstribusi fukoha
Pada era ini kondisi fiqh islam sangat buruk sekali bahkan mengalami kemunduran dan kejumudan. Dijaman generasi pertama para fuqoha sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad, akan tetapi pada masa ini para ulama beralih menjadi taqlid buta. Pada hal taqlid seperti ini adalah taqlid yang dilarang karena taqlid ini adalah memahi sesuatu hal dan membabi buta tampa memperhatikan ajaran al-quran dan al-hadits seperti menaqlid orang tua dan masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan al-quran dan al-hadits.[4] Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlaq akan tetapi semangat menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqoha juga sangat minim dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat. Dan adapun mengenai usaha yang dilakukan para fuqoha pada priode ini adalah mengenai penulis matan (teks) dan penjelasan syarh (penjelasan).
2). Dampak kejumudan terhadap fiqh islam
a.       ketidak berdayaan fiqh islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul
b.      banyaknya karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh mazdhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu untuk menunjukkan kemampuan mereka sendiri, yang pada akhirnya tidak ada pembaharuan dan penemuan baru
c.       masyarakat dan para penguasa sebagian negeri islam menjadi berpaling dari fiqh islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai urusan pribadi dan pemerintahan.[5]
B.     FASE KEBANGKITAN ILMU FIQH
1.      Pembahasan fiqh islam
Bermulanya zaman ini pada akhir tahun ke-13 H, ketika jaman pemerintahan kerajaan utsmaniyah.pada ketika itu, kerajaan utsmani telah menggunakan fiqh sebagai undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan didalam menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujukan kepada kitab-kitab fiqh didalam mzdhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada golongan ulama besar dimketahui oleh mentri keadilan untuk membentuk satu undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan oleh pihak lijnah pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1867M, Para ulama telah menyusun 1851 akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil dari pada fiqh Hanafi dengan memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan sebagai Majallah Al-ahkam al-‘Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan kerajaan uthmaniah sehingga di hentikan penggunaanya selepas kejatuhan kerajaan uthmaniah. Majalah ini dibagikan kepada beberapa pasal seperti : jual beli, sewaan, pajak,hibah, rampokdan pencuri, iqrar, dakwah, dan kehakiman.
Pada mukaddimah kitab ini, dimulakan dengan pasal permulaan,mengandungi sejumlah kaedah-kaedah kauliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan undang-undang lain pada tahun 1880 M. Selepas itu terdapat undang-undang lain yang digajetkan di negara-negara islam lain. Sebagian besarnya disusun berkenaan dengan Ahwal Al-syakhsyiah atau undang-undang keluarga yang dukuatkan dengan fiqh islam tampa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara turki merupakan negra pertama yang mengeluarkan undang-undang yang berkenaan dengan undang-undang keluarga dengan nama Qanun Al-Haqu al-A’ilah (undang-undang hak keluarga) dan dikeluarkan pada tahun 1974. Pada tahun tersebut diresmikan undang-undang hukum kelurga menggunakan prinsipTalfiq dan Tahayyur (menggabungkan bebrapa pendapat kemudian merumuskan satu hukum yang sesuai dengan kemaslahtan dan perkembangan masa). Undang-undang tersebut disebut The ottoman Law of Family rights.
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqh islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqh islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjauhi metode yang rumit dan menyusahka, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus.[6]
            Adapun indikasi kebangkitan fiqh pada masa ini dari aspek sisten kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :
1)      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazdhab-mazdhab dan pendapat-pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui tampa ada perlkuan khusus antara mazdhab dengan mazdhab lain. Penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazdhab tertentun dalam bertaqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazdhab tertentu seperti  yang dilakukan oleh Dinasti Ayubiyah ketika mereka membatasi kurikulum Al-Azhar hanya dengan mazdhab syi’ah.
2)      Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik. Pada zaman ini, kajian fiqh sudah sudah beralih pada kajian kitab-kitab fiqh klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan.
3)      Memberikan perhatian khusus terhadap fiqh komparis. Pada masa ini para penelitian fiqh lebih fokus pada kajian fiqh komparasi. Metode ini memiliki kelebihan, yakni memunculkan teori-teori umumdan fiqh islamdan teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta dan pendayagunaannya hak yang tidak proposional serta yang lainnya yang dapat kita dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar internasional tentang perbandingan dengan Uuyang dilaksanakan dilohre tahun1931, kemudian 1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para menulis menyatakan ,”fiqh islam memiliki nilai perundang-undangan yang tinggi  dan tidak bisa ditandingi sehingga harus dijadikan sumber perundang-undang civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang-undang lain dalam memenuhin kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya.”
4)      Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Diantara indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negari islam dan terbitnya beberapa iniklopedia   fiqh.[7]
2.      Kodefikasi hukum fiqh
Kodefikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada setiap masalah akan dirujukan kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan. Tujuan dari kodefikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.)    Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi tumpang tindi.contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan diluar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
2.)    Memudahkan para hakim untuk merujukan semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik.
Upaya mengkodefikasi sudah muncul sejak awal pada abat ke-2 H,ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada khalifah Abu Jaffar Al-mansur agar undang-undang civil negara diambil dari al-quran dan as-sunnah. Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.
Usulan Ibnu Mukaffah tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena para fuqoha’ enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri memerintahkan murid-murid mereka untuk menjauhi fanatisme mazdhab. Dan mereka cemas dan ragu-ragu,karena bukan mereka membuat undang-undang buatan manusia, tetapi syariat yang turun dari langit. Meskipun demikian, upaya tersebut belum secara resmi dan bersifat mengikat bagi semua mufti atau hakim, sebagaimana corak penulisan dan pembuatan bab belum seperti sebuah materi undang-undang dan hanya bersifat himpunan pendapat fiqh yang masih diperdebatkan, kemudian lembaganya memilih salah satunya.[8]
Semua usaha dan upaya ini belum bisa dikatakan sebuah bentuk kodifikasi fiqh islamdengan makna yang sempurna. Adapun toga ciri yang mewarnai perkembangn fiqh fiqh yaitu :
a.       Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tututan situasi dan zaman.
b.      Upaya pengkodifikasian fiqh semakinluas, bukan saja diwilayah yuridiksi kerajaan turki  utsmani, tetapi juga diwilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi turki utsmani, seperti surya, palestina, dan irak.
c.       Munculnya upaya pengkodefikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazdhab fiqhtertentu.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara bahasa kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidanyang mengandung arti mengulangi, menghiasi, meniru, menyerahkan, atau mengikuti.Sementara itu pengertian taqlid secara istilah ialah mengikuti pendapat seorang faqih atau imam tanpa mengetahui sumber hukunya, seorang yang bertaqlid, ia seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang yang mujtahid.
Pada priode taqlid, angin ijtihad sudah mulai teduh dan tidak ada keistimewaanya. Jika memiliki keistimewaan, maka keistimewaanya adalah menetapkan jiwa taqlid semata kedalam hati ulama. Separuh pertama, yaitu masa kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan islam khalifah Abbasiyyah. Pada masa ini, beberapa orang yang menggabungkan diri kepada imam tertentu dan disebut dengan mujtahid muntasib. Separuh kedua, yaitu dari abat X sampai sekarang, diumumkan tidak boleh seorang faqih memilih dan menarjih cukup kitab-kitab yang ada.
Kebangkitan fiqh dimulai dari ahir abat ke-13 H sampai pada hari ini. Fase ini mempunyai karakter dan corak yang berbeda dengan fase sebelunya. Fiqh dihapakan pada zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat member saham dalam menentukan jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumber yang asli, menghapus taqlid dan tidak terpaku pada mazdhab atau kitab tertentu.
B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baik dalam penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.









DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul Majid khon, M. AG.Tarikh tasyri’. Jakarta : 2015













[1] Mahmud Yuus, kamus arab indonesia(jakarta : Hinda karya Agung 1990)hal 354
[2] Muhammad Al-kudari , tarikh al-tasyri’ islam (semarang ;darur ihya indonesia, 1980)hal ,323-324
[3] Ibid,hal 365-366
[4] Khairul uman dan achyar, hal 155
[5] Rasyad Hasan khalid, hal 128
[6] Rasyad Hasan kholil.2009. Tarikh tasyri’ sejarah legislasi hukum islam. Jakrta , hal 131
[7] Ibid. Hal,133
[8] Rasyad hasan kholil.2009, Tarikh tasyri’(legislimasi hukumislam), jalarta. Hal 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar