(LANJUTAN PRIODESASI PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM)
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
1.
MITA
SAYUTI (170202087)
2.
SAMIATI
(1702020
3.
DARMAN
HUDA (17 02020
DOSEN PENGAMPU : M. HOR.S.Ag, M.H.I
JURUSAN AHWAL AL-SAHYSYIAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
KATA PENGANTAR
BISSMILLAHIRRAHMANIRRAKHIM
ASSALAMU’ALAIKUM
WARAHMATULLAHI WABARKATUH
Dengan menyebut nama
Allah SWT Yang maha pengasih lagi maha penyayang kami panjatkan puji syukur
atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahma, hidayah, dan inayahnya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ LANJUTAN PRIODESASI
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM (TASYRI’ ISLAM)”.
Makalah ini telah kami
susundengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya, bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan,
kalimat, maupun tata bahasanya, oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.
Matram, 27 maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB II PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
B.
TUJUAN
C.
RUMUSAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
A.
FASE TAQLID DAN KEJUMUDAN
B.
FASE KEBANGKITAN ILMU FIQH
BABA III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Al- quran dan sunnah adalah sumber utama hukum islam. Namun karea
turunya al-quran terbatas oleh waktu,
sedangkan hukum semakin berkembang dari masa kemasa, maka diperlukan adnya
ijtihad untuk menggali hukum yang terkandung didalamnya.
Pada sejarahnya, pengambilan hukum dengan menggunakan ijtihad
merupakan fase yang panjang. Hingga datang fase dimana ijtihad tidak lagi
gencar dilakukan,yakni fase dimana para ulama merasa cukup puas dengan hanya
mengikuti imam madzhab mereka tampa perlu melakukan ijtihad sendiri.fase ini
biasa disebut fase taqlid jika pada fase-fase sebelunya yang dilakukan dalam
pengambilan hukum adalah merujuk langsung pada al-qur’an dan as-sunnah.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Menjelaskan
fase taqlid dan kejumudannya
2.
Menjelaskan
kebangkitan ilmu fiqh
C.
TUJUAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah tarikh tasyri’.selain itu tujuan
penulis yaitu untuk memahami dan mengetahui “ Lanjutan priodesasi perkembangan
hukum islam”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
FASE
TAQLID DAN KEJUMUDAN
1.
Pengertian
taqlid
Secara
bahasa kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidanyang mengandung
arti mengulangi, menghiasi, meniru, menyerahkan, atau mengikuti.[1]
Sementara itu pengertian yaqlid secara istilah ialah mengikuti pendapat seorang
faqih atau imam tanpa mengetahui sumber hukunya, seorang yang bertaqlid, ia
seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang yang mujtahid.
Adapun
pengertian taqlid menurut beberapa ahli:
1). IMAM
AL-GAZALI
Taqlid
adalah mengamalkan satu pendapat tampa ada landasan hujjah syariat lalu
mengikuti suatu pendapat tampa mengetahui hujjahnya.
2). AL-AMIDI
Mengamalkan
pendapat orang lain tampa mengetahui hujjah yang seharusnya, seperti orang awam
atau mujtahid mengikuti pendapat mujtahid lainnya yang sama.
2.
Priode
taqlid
Priode
taqlid adalah priode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan
berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali
hukum dari teks al-quran dan sunnah dan semangat mengistinbatkan hukum-hukum
terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nas dengan
menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya
mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Priode
tqlid mulai sekitar pertengahan abat IV
H/ X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor
politik intelektual, moral, dan sosial dan mempengaruhi kebangkitan umat islam
dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan dan upaya
perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kemerdekaan dan kebebasan
berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-quran dan
sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi mereka sudah puas dengan berpegang
kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni imam syafi’i, abu hanifah,
maliki, ahmad bin hambal. Mereka mempersempit ruang cakra wala pikiran mereka
pada lingkungan terbatas mengenai cabang-cabang hukum dan ushulnya dari majhab
para imam mujtahid tersebut, mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk
memahami kata-kata dan ungkapan-ungkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka
tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash
syariat dan prinsip-prinsip yang umum.
1). Kondisi taqlid menjelang runtuhnya Baghdad
Kondisi
taqlid ditandai sejak suasana politik tidak kondusif mulai abat IV H.sampai
runtuhnya Abasyiah pada abat VII H. Pada masa detik-detik lemahnya Abasyiah
yang diawali dengan terputusnya ikatan politik dengan daerah; di barat
(Andalusia), Abdurrahman Al-Nasir dari Bani Umayyah memproklamasikan diri sebagai
amirulmu’minin. Di Afrika Utara, ubaidillah Al-mahdi mendirikan daulah
Fathimiyyah. Di Mesir muhammad Al-ikhsyid mengakui keturunan Abbas, demikian
juga Bani Hambal di Moshul dan Halb. Di Yaman terdapat syiah Zhaidiyyah,
sedangkan Bagdad dikuasai Bani Buwaihi dan bani Abbas tinggal nama saja.
Masing-masing
kelompok penguasa memusuhi kelompok lain, permusuhan yang paling dahsyat
terjadi antara bani Abbas (Baghdad) dan Bani Fatimiyyah ( Mesir dan Syam). Bani
Abbas memutuskan hubungan dengan bani Fatamiyyah, tetapi bani Buwaihi yang
diberi kepercayaan Abbasyiah itu cenderung kepada Fatimiyyah. Tidak lama
kemudian bani Saljuk (turki) bergerak dari Timur dan menyapu bersih lawannya,
termaksud bani Buwaihi, bani Saljuk menguasai wilayah Barat sampai dengan
Baghdad dan Asia Tengah kemudian menundukkan Fatimiyyah di Syam. Kelemahan dan
pertentangan orang-orang mesir di negari Syam ini di manfaatkan Barat untuk
menyerang wilayah Islam yang disebut dengan perang salib.
Kondisi
politik di atas tidak tidak memengaruhi perkembangan keilmuan ulama, terlebih
pada masa bani Saljuk di timur dan Fatimiyyah di mesir. Pada masa ini lahir
ulama yang berperan dalam pembinaan hukum islam, tetapi tidak sehebat ulama
sebelumnya yang mampu berijtihad secara mutlak. Ulama pada priode ini sibuk
mempelajari kitab-kitab dan metode tertentu untuk memahami hukum islam. Mereka
mengikuti majhab tertentu dan mengarahkan segala kemampuan untuk menolong
mazhabnya, baik secara global maupun terperinci.[2]
Ada beberapa
sebab tumbuhnya jiwa taqlid pada masa ini, yaitu sebagai berikut :
a.
Murid-murid
yang berkedudukan
b.
Pengadilan
yang berpedoman pada buku mazdhab
c.
Pembukuan
kitab-kitab mazdhab
d.
Pembelaan
pengikut mazdhab
2).
Kondisi taqlid sesudah runtuhnya Abasiyyah
Sesudah runtuhnya Abasiyyah (655 H/1258 M), Turki menguasai
sebagian negara-negara islam, termaksud negri Syam. Orang-orang mesir menerima
merka dimata air Jalut pimpinan Al-Muzhaffar. Unsur turki yang menguasai syam
dan mesir disebut Mamalik. Hampir seluruh negara islam dikuasai turki, kecuali
Magrib dikuasai Barbar Barat.
Pada permulaan abad VIII H, muncul seorang tokoh besar diturki
Asia, yaitu kepala suku turki Ustman Kajuk. Ia membina kerajaan kaumnya dari
puing-puing peninggalan keluarga Saljuk yang ada di Asia tengah. Ia dan
anak-anaknya menaklukan kerajaan kecil di sekitarnya lalu membentuk kerajaan
besar. Kemudian ia mengarahkan segala kekuatannya ke Eropa, sehingga pada
pertengahan abad IX menguasai kota konstatinopel yang pernah menjadi ibu kota
kerajaan Barat. Kemudia menguasai Mesir dan melenyapkan kekuasaan khalifah
Abasiyyah. Khalifah dipindahkan dari kairo ke kota Konstatinopel, sementara
Mesir menjadi daerah Ustmaniyyah dimana kondisi politik dan keilmuan Mesir
semakin turun.
Pada masa ini, angin ijtihad sudah mulai teduh dan tidak ada
keistimewaanya. Jika memiliki keistimewaan, maka keistimewaanya adalah
menetapkan jiwa taqlid semata kedalam hati ulama. Separuh pertama, yaitu masa
kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan islam khalifah
Abbasiyyah. Pada masa ini, beberapa orang yang menggabungkan diri kepada imam
tertentu dan disebut dengan mujtahid muntasib. Separuh kedua, yaitu dari abat X
sampai sekarang, diumumkan tidak boleh seorang faqih memilih dan menarjih cukup
kitab-kitab yang ada.[3]
Mesir sudah mencoba berusaha mengembalikan kemuliaan di bidang ilmu,
namun terhalang oleh dua hal berikut :
a.
Terputusnya
hubungan antara ulama di negara-negara islam
b.
Terputunya
hubungan dengan kitab-kitab para imam
3.
priode
kejumudan dan kemunduran
priode ini
dimulai sejak tahun 656 H, ketika kota Baghdad jatuh ketangan tentara Mongol
dan berahir pada abad 13
1). Kondisi fiqh dan konstribusi fukoha
Pada
era ini kondisi fiqh islam sangat buruk sekali bahkan mengalami kemunduran dan
kejumudan. Dijaman generasi pertama para fuqoha sibuk menggali fiqh, mencari
illat, dan berijtihad, akan tetapi pada masa ini para ulama beralih menjadi
taqlid buta. Pada hal taqlid seperti ini adalah taqlid yang dilarang karena
taqlid ini adalah memahi sesuatu hal dan membabi buta tampa memperhatikan
ajaran al-quran dan al-hadits seperti menaqlid orang tua dan masyarakat walaupun
ajaran tersebut bertentangan dengan al-quran dan al-hadits.[4]
Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlaq akan tetapi semangat menulis buku
juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqoha juga sangat minim dan
hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu
dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan
singkat. Dan adapun mengenai usaha yang dilakukan para fuqoha pada priode ini
adalah mengenai penulis matan (teks) dan penjelasan syarh (penjelasan).
2). Dampak kejumudan terhadap fiqh islam
a.
ketidak
berdayaan fiqh islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul
b.
banyaknya
karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh mazdhab sehingga
membuat para pelajar tidak mampu untuk menunjukkan kemampuan mereka sendiri,
yang pada akhirnya tidak ada pembaharuan dan penemuan baru
c.
masyarakat
dan para penguasa sebagian negeri islam menjadi berpaling dari fiqh islam dan
memakai konsep undang-undang konvensional sebagai urusan pribadi dan
pemerintahan.[5]
B.
FASE
KEBANGKITAN ILMU FIQH
1.
Pembahasan
fiqh islam
Bermulanya
zaman ini pada akhir tahun ke-13 H, ketika jaman pemerintahan kerajaan
utsmaniyah.pada ketika itu, kerajaan utsmani telah menggunakan fiqh sebagai
undang-undang dan dijadikan dalam bentuk akta amandemen. Para hakim
menggunakannya sebagai rujukan didalam menjalankan proses penghakiman. Ia
dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu dengan merujukan kepada
kitab-kitab fiqh didalam mzdhab yang satu. Tugas ini diberikan kepada golongan
ulama besar dimketahui oleh mentri keadilan untuk membentuk satu undang-undang
dalam urusan peradaban. Pekerjaan tersebut diselesaikan oleh pihak lijnah pada
tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869-1867M, Para ulama telah menyusun 1851
akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil dari pada fiqh Hanafi dengan
memilih perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang
mendatangkan kebaikan kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan sebagai
Majallah Al-ahkam al-‘Adliah dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia
digunakan pada zaman pemerintahan kerajaan uthmaniah sehingga di hentikan
penggunaanya selepas kejatuhan kerajaan uthmaniah. Majalah ini dibagikan kepada
beberapa pasal seperti : jual beli, sewaan, pajak,hibah, rampokdan pencuri,
iqrar, dakwah, dan kehakiman.
Pada
mukaddimah kitab ini, dimulakan dengan pasal permulaan,mengandungi sejumlah
kaedah-kaedah kauliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak perubahan
pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan
undang-undang lain pada tahun 1880
M. Selepas itu terdapat undang-undang lain yang
digajetkan di negara-negara islam lain. Sebagian besarnya disusun berkenaan
dengan Ahwal Al-syakhsyiah atau undang-undang keluarga yang dukuatkan dengan
fiqh islam tampa disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara turki
merupakan negra pertama yang mengeluarkan undang-undang yang berkenaan dengan
undang-undang keluarga dengan nama Qanun Al-Haqu al-A’ilah (undang-undang hak
keluarga) dan dikeluarkan pada tahun 1974. Pada tahun tersebut diresmikan
undang-undang hukum kelurga menggunakan prinsipTalfiq dan Tahayyur
(menggabungkan bebrapa pendapat kemudian merumuskan satu hukum yang sesuai
dengan kemaslahtan dan perkembangan masa). Undang-undang tersebut disebut The
ottoman Law of Family rights.
Pada
zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqh
islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Sehingga fiqh islam nisa
mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjauhi metode yang
rumit dan menyusahka, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan
terfokus.[6]
Adapun indikasi kebangkitan fiqh
pada masa ini dari aspek sisten kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai
berikut :
1)
Memberikan
perhatian khusus terhadap kajian mazdhab-mazdhab dan pendapat-pendapat
fiqhiyyah yang sudah diakui tampa ada perlkuan khusus antara mazdhab dengan
mazdhab lain. Penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazdhab tertentun dalam
bertaqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazdhab tertentu
seperti yang dilakukan oleh Dinasti
Ayubiyah ketika mereka membatasi kurikulum Al-Azhar hanya dengan mazdhab
syi’ah.
2)
Memberikan
perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik. Pada zaman ini, kajian fiqh
sudah sudah beralih pada kajian kitab-kitab fiqh klasik yang tidak memuat rumus
dan kejumudan.
3)
Memberikan
perhatian khusus terhadap fiqh komparis. Pada masa ini para penelitian fiqh
lebih fokus pada kajian fiqh komparasi. Metode ini memiliki kelebihan, yakni
memunculkan teori-teori umumdan fiqh islamdan teori baru seperti teori akad,
kepemilikan, harta dan pendayagunaannya hak yang tidak proposional serta yang
lainnya yang dapat kita dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar internasional
tentang perbandingan dengan Uuyang dilaksanakan dilohre tahun1931, kemudian
1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para menulis menyatakan
,”fiqh islam memiliki nilai perundang-undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga harus
dijadikan sumber perundang-undang civil, semua prinsipnya bisa
mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang-undang lain dalam
memenuhin kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah
dirujuk dan dikaji serta diambil produk hukumnya.”
4)
Mendirikan
lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Diantara
indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini adalah didirikannya beberapa lembaga
kajian diberbagai negari islam dan terbitnya beberapa iniklopedia fiqh.[7]
2.
Kodefikasi
hukum fiqh
Kodefikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam
satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada setiap masalah akan
dirujukan kepada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus
dalam menyelesaikan perselisihan. Tujuan dari kodefikasi adalah untuk
merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :
1.)
Menyatukan
semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak
terjadi tumpang tindi.contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan
diluar undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang
kontradiktif.
2.)
Memudahkan
para hakim untuk merujukan semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik.
Upaya mengkodefikasi sudah muncul sejak awal pada abat ke-2
H,ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada khalifah Abu Jaffar Al-mansur agar
undang-undang civil negara diambil dari al-quran dan as-sunnah. Ketika tidak
ada nash cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.
Usulan Ibnu Mukaffah tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena
para fuqoha’ enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri
memerintahkan murid-murid mereka untuk menjauhi fanatisme mazdhab. Dan mereka
cemas dan ragu-ragu,karena bukan mereka membuat undang-undang buatan manusia,
tetapi syariat yang turun dari langit. Meskipun demikian, upaya tersebut belum
secara resmi dan bersifat mengikat bagi semua mufti atau hakim, sebagaimana
corak penulisan dan pembuatan bab belum seperti sebuah materi undang-undang dan
hanya bersifat himpunan pendapat fiqh yang masih diperdebatkan, kemudian
lembaganya memilih salah satunya.[8]
Semua usaha dan upaya ini belum bisa dikatakan sebuah bentuk
kodifikasi fiqh islamdengan makna yang sempurna. Adapun toga ciri yang mewarnai
perkembangn fiqh fiqh yaitu :
a.
Munculnya
upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tututan situasi dan zaman.
b.
Upaya
pengkodifikasian fiqh semakinluas, bukan saja diwilayah yuridiksi kerajaan
turki utsmani, tetapi juga
diwilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi turki utsmani, seperti
surya, palestina, dan irak.
c.
Munculnya
upaya pengkodefikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan mazdhab fiqhtertentu.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara bahasa kata taqlid berasal dari kata
qallada-yuqallidu-taqlidanyang mengandung arti mengulangi, menghiasi, meniru,
menyerahkan, atau mengikuti.Sementara itu pengertian taqlid secara istilah
ialah mengikuti pendapat seorang faqih atau imam tanpa mengetahui sumber
hukunya, seorang yang bertaqlid, ia seolah-olah menggantungkan hukum yang
diikutinya dari seorang yang mujtahid.
Pada priode taqlid, angin ijtihad sudah mulai teduh dan tidak ada
keistimewaanya. Jika memiliki keistimewaan, maka keistimewaanya adalah
menetapkan jiwa taqlid semata kedalam hati ulama. Separuh pertama, yaitu masa
kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan islam khalifah
Abbasiyyah. Pada masa ini, beberapa orang yang menggabungkan diri kepada imam
tertentu dan disebut dengan mujtahid muntasib. Separuh kedua, yaitu dari abat X
sampai sekarang, diumumkan tidak boleh seorang faqih memilih dan menarjih cukup
kitab-kitab yang ada.
Kebangkitan fiqh dimulai dari ahir abat ke-13 H sampai pada hari
ini. Fase ini mempunyai karakter dan corak yang berbeda dengan fase sebelunya.
Fiqh dihapakan pada zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat
member saham dalam menentukan jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada
hari ini dari sumber yang asli, menghapus taqlid dan tidak terpaku pada mazdhab
atau kitab tertentu.
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka
penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk lebih baik
dalam penulisan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul Majid khon, M. AG.Tarikh
tasyri’. Jakarta : 2015
[1] Mahmud
Yuus, kamus arab indonesia(jakarta : Hinda karya Agung 1990)hal 354
[2] Muhammad
Al-kudari , tarikh al-tasyri’ islam (semarang ;darur ihya indonesia, 1980)hal
,323-324
[3] Ibid,hal
365-366
[4] Khairul
uman dan achyar, hal 155
[5] Rasyad
Hasan khalid, hal 128
[6] Rasyad
Hasan kholil.2009. Tarikh tasyri’ sejarah legislasi hukum islam. Jakrta , hal
131
[7] Ibid.
Hal,133
[8] Rasyad
hasan kholil.2009, Tarikh tasyri’(legislimasi hukumislam), jalarta. Hal 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar